QUARTER LIFE CRISIS
I admit bahwa sepertinya quarter life crisis
(QLC) itu benar-benar akan jadi fase dalam hidup seseorang. Awalnya gue gak tau
definisi jelasnya pun gue tau istilah itu dari media sosial, tetapi gue
mengartikan ‘quarter’ yang berarti seperempat, yang kalau diasumsikan dengan
skala 100 berarti orang-orang yang hidup seperempat per 100 tahun (1 abad) yang
akan mengalami ‘masalah’ atau ‘krisis’ dihidupnya. Ketika mendengar tentang istilah
itu gue pun berpikir “oh apakah mungkin ‘crisis’ itu akan gue alami juga?”. Gak
mau mebohongi diri sendiri bahwa sebentar lagi gue akan ada di dalam fase dimana
gue sudah hidup di dunia selama 25 tahun, it is quarter and then … what’s next?
Yes, pertanyaan-pertanyaan tersebut telah menjebak
diri gue sendiri, ditambah pertanyaan atau pernyataan orang-orang disekitar gue
yang dilontarkan secara implisit ataupun eksplisit mendukung segala pemikiran
gue ke arah yang sepertinya gak gue inginkan, negativity. Sejujurnya gue
berusaha masih tetap happy menghadapi hal-hal yang lahir dari pikiran negative gue
tapi ada masanya gue merasa hampir sampai di titik terberat. Kenapa gue bilang ‘hampir’?
karena gue masih tetap berusaha untuk menahan itu semua. Jelas gue gak mau sampai
di titik yang parah lalu depresi dkk. Separah-parahnya menurut gue adalah nangis
atau sedih di momen dimana seharusnya gue bersenang-senang. Ditambah gue sedang
berada diantara orang-orang atau keramaian tapi gue merasa sendiri. Right, it
was weird!
Gue sempat cari via google sebenernya apa itu
QLC. Singkatnya adalah QLC itu adalah sebuah kecemasan yang dialami orang dalam
usia 20-an sampai 30-an, beberapa diantaranya menyatakan bahwa 30-an adalah
merupakan usia puncak mengalami QLC. Kecemasan ini sebenernya muncul ketika
seseorang sedang atau sudah mencapai goal atau tujuan hidupnya. Beberapa yang
sudah mencapai tujuan hidupnya mulai bingung tentang hidupnya yang mau dibawa
kemana setelah goal yang mereka set sudah tercapai sementara yang sedang
berusaha mencapai goal akan mulai meragukan kemampuan mereka untuk sampai di
tujuan. Di beberapa artikel menjelaskanbahwa kita bisa melakukan hal-hal
preventif sesegera mungkin, misal segera berpindah ke goal lain ketika kita sudah
mencapai satu goal dan terus berusaha dengan positif mencapai goal yang belum
tercapai. Menurut gue pribadi hal yang tersulit dalam mencapai goal adalah
melawan pikiran-pikiran negative tentang kemampuan kita. Terlebih lagi ada prioritas
lain yang terkadang mengganggu entah idealism, keluarga dan relationship.
Mimpi terbesar gue sejauh ini adalah melanjutkan
studi ke luar negeri. Meanwhile pertanyaan-pertanyaan “apakah gue bisa?” dan
segala negativity dalam otak gue selalu muncul. Hal lainnya adalah tentang my
relationship atau jodoh yang ikutan menambah problem. Tulisan setelah ini
mungkin jadi platform curhat gue yang muai lelah karena beberapa situasi yang seakan
mempertanyakan “kok masih sendiri?”. Hafht. What should I do? Is that wrong? :(
Again, sebenernya gue gak masalah sih kalau
sebenernya konteksnya bercanda. Gue juga sebenernya nyantai ketika berada dalam
situasi tersebut. Tapi mungkin orang-orang gak tau efeknya ke gue misal setelah
beraktivitas atau lagi di kamar sendirian. Pertanyaan-pertanyaan “apakah kesendirian
itu bermasalah?” jadi beneran bermasalah buat gue, in the middle of goal-goal
lain juga mau gue selesaikan satu-satu. Why humans are so mean to me?
In the first page of this post, I stated that
the saddest thing adalah gue pernah tiba-tiba nangis padahal momennya lagi
senang dan gue lagi berada dikeramaian. At that moment, gue tetiba merasa
sendiri, deep loneliness, you know what? Karena tetiba gue melihat orang lain
yang ‘gak sendiri’ in the context of relationship yang lagi kita bicarakan saat
ini. It was like I feel I am the poorest person in the world because I have
nobody who I care to as same as in the opposite way he care about me. At that
moment I was envy with someone because people out there were asking about as
simple as “how is your day?” etc. meanwhile I was not. O, it might I was on my
period so I was cranky about everything. But, it was real that I feel that I was
on my QLC, I am.
In the middle of pencarian tentang tujuan hidup
gue, masalah relationship ini termasuk salah satu topik yang mengganggu buat
gue. Gini loh masalahnya ketika humans ini pada iseng tanya atau nyinggung
tentang ini, gue cuma bisa tanya balik ke Tuhan karena Dia yang bisa memberi
jawab. Kalian ini para humans cuma bisa buat gue tambah pusing, hiks. Yang
terpenting guys, gue udah mulai gak nyaman ketika beberapa humans mulai push me
to someone or sebailknya push someone to me. Gue jadi semakin merasa insecure
dan memaksa Tuhan untuk segera menunjukkan siapa orang yang dirahasiakan buat
gue. It is not my style to be close with someone, please I don’t want it. :(
Gue baca di beberapa artikel menuliskan bahwa
QLC ini harus tepat ditangani. Orang-orang yang telah menyadari bahwa ada
crisis dalam dirinya, sebaiknya selalu menceritakan keresahannya kepada orang
lain. Dengan begitu beban dalam pikirannya bisa berkurang. Sebenarnya cara ini
berlaku gak hanya tentang QLC sih, memang sudah seharusnya setiap problem dalam
hidup kita sebaiknya diutarakan kepada orang terdekat. Thanks God, I have one best
friend who I can share my problem although gak semuanya yang bisa gue
ceritakan. Again ada beberapa momen yang harus gue lewati sendiri dan please,
stop menambahkan masalah gue dengan gak basa-basi soal pasangan dkk. Honestly,
I hate them.
Comments
Post a Comment