MENDENGAR DAN BERPIKIR: PENDIDIKAN DI INDONESIA
Bekerja
sambil mendengarkan podcast terkadang membuat gue lebih fokus untuk
menyelesaikan pekerjaan. Selain podcast, gue juga suka play beberapa
video dari youtube atau netflix. Walaupun gak sepenuhnya gue memperhatikan apa
saja yang terjadi di dalam video karena mata gue sibuk ke window lain (akhir-akhir
ini sedang di autocad). Podcast favorit gue adalah Rapot, Podkesmas,
Podcast BKR, podcast horror - Do You See What I See?, namun karena mereka gak upload
setiap hari, gue mendengarkannya bergantian. Jika semua podcast sudah gue
dengarkan biasanya gue akan play video di youtube atau netflix yang
konsepnya hampir mirip, yaitu video yang hanya dengar mendengar suara atau
percakapan yang terjadi, gue bisa mengerti mengenai isi videonya.
Beberapa
hari yang lalu, gue play Mata Najwa sambil gue menyelesaikan gambar
kerja di kantor, yaitu tayangan sekitar dua minggu yang lalu tentang topik
menghapus UN di Indonesia. Gue pribadi suka mendengarkan sebuah diskusi
mendalam mengenai isu-isu yang sedang terjadi dalam skala nasional maupun
internasional. Menurut gue, sebagai manusia kita perlu memahami masalah-masalah
yang terjadi di sekeliling kita. Tujuannya bukan untuk “gaya-gaya-an”,
melainkan untuk membuat setiap individu, terutama gue dalam konteks tulisan
ini, untuk dapat memposisikan diri di dalam society.
Berita
mengenai penghapusan UN sebagai kebijakan baru dari Menteri Pendidikan periode
ini, Mas Nadiem Makarim, sepertinya menimbulkan pro-kontra. Dari hasil
mendengarkan diskusi di Mata Najwa yang menghadirkan narasumber dari eksekutor
pemerintah, ahli, penggiat/aktivis dan juga masyarakat yang dalam konteks ini
diwakili oleh siswa dan orang tua sebagai individu yang terpengaruh dengan
kebijakan ini. Diskusi tentang pendidikan di Indonesia ini seru banget sih
menurut gue karena seperti sudah topik umum bahwa sistem pendidikan di
Indonesia masih butuh banyak perhatian dari pemerintah sebagai pembuat
kebijakan. Selain masih harus terus melakukan pemerataan ke seluruh penjuru
Indonesia, mengenai konten pendidikan formal di sekolah sepertinya juga menjadi
pekerjaan rumah bersama.
“Kalau
dibandingkan dengan pelajar di luar negeri, pelajar Indonesia lebih malu-malu
untuk berpendapat ….”
“Sekolah
di Indoesia kan sistemnya hapalan. Yang penting dihapal aja rumusnya … mengenai
asal usulnya kenapa itu gak penting”
Seru
karena semua hal tersebut memang sangat bergantung sekali dengan bagaimana
sistem belajar yang diterapkan di sekolah. Kebijakan penghapusan UN merupakan
langkah pertama untuk mengganti sistem pendidikan di Indonesia yang cenderung
menghapal ke sistem penalaran dimana siswa ditantang untuk lebih banyak untuk
menggunakan nalar atau logikanya untuk sebuah ilmu pengetahuan, pun guru
ditantang untuk membuat lingkungan belajar menjadi lebih konstruktif dibanding
hanya dengan belajar pada umumnya yang terjadi saat ini.
Buat
gue pribadi, ide tersebut gue sambut baik sebagai masyarakat biasa yang tidak
secara langsung berkecimpung di dalam dunia pendidikan atau bukan sebagai
praktisi pendidikan. Membaca kondisi pendidikan saat ini dan dihubungkan dengan
bagaimana anak-anak jaman sekarang bersikap terhadap suatu masalah menjadi
cerminan bahwa ada yang harus diubah. Kenapa menurut gue ‘reaksi anak-anak ini
terhadap masalah’ menjadi hal yang penting? Karena dengan logika serta penalaran
yang baik, anak-anak ini akan memiliki karakter atau mindset yang kuat
serta tidak mudah terpengaruh terhadap bad vibes. Lebih mandiri dalam
mengelola sumber daya yang kita miliki dan sama-sama berjalan ke arah yang sama
untuk memajukan Indonesia walaupun perbedaan tetap ada. Kurang penting apa lagi
kah isu di atas untuk negeri kita? Haha. Tapi masalahnya bisa kah kita? atau
pertanyaan yang lebih tepat mungkin kuatkah kemauan kita?
Sejauh
ini, posisi gue berada di sisi yang pro jika tujuannya sesuai ke arah untuk
menyelesaikan isu yang gue tulis di atas, tapi gue sangat paham dan mengiyakan
opini-opini kontra yang disampaikan dalam diskusi yang terjadi di Mata Najwa. Skeptic!
Kalau kita pesimis dan membayakangkan kalau nanti a, b, c, dan seterusnya
terjadi gimana? Yap, khawatir bukan hasil positif tetapi malah negatif katanya.
“Kita
kan gak mau menghasilkan generasi yang lembek atau males belajar ….” - begitu
katanya.
Namun,
sejauh ini ide yang dipublikasikan adalah ide yang positif menurut gue jadi why
not?. Pertanyaan terbesar dalam benak gue adalah mengenai komitmen.
Banyak kebijakan yang dikeluarkan pemerintah gak sedikit yang angetnya di
depan saja lalu in the end yaa begitu.
Keesokan
harinya, gue dapet kesempatan untuk menanyakan isu penghapusan UN ini ke teman
gue yang memang berprofesi sebagai guru di sebuah sekolah swasta di daerah
jabodetabek. Gue tanya gimana, lo dan guru-guru di sekolah lo bereaksi terhadap
penghapusan UN ini?, kemudian dia jawab ‘stress’ katanya. Challenging? Sangat
katanya. Tetapi pada intinya dia sebagai guru kurang setuju kalau UN dihapus
karena menurutnya yang terjadi sekarang setelah diumumkan oleh Menteri
Pendidikan, siswa-siswanya jadi ‘menggampangkan’ proses belajar. Dia
menjelaskan bahwa sekolah dimana dia mengajar bukan sekolah grade A yang
siswa-siswanya bisa diarahkan sedemikian dengan konsep penalaran tersebut.
“Mungkin
beda kali kalau sistem ini buat anak IC … akan berfungsi .. tapi buat anak-anak
gue yang udah dateng sekolah aja syukur. Nah, ini ditambah gak ada UN,
reaksi mereka jadi nyantai. Toh kan gak ada UN, tenang aja gak usah belajar”
Teman-teman
gue yang berprofesi sebagai guru kebanyakan masih meniti karir di
sekolah-sekolah yang bukan grade A. Kalau ada kesempatan bertemu dan
mendengarkan cerita mereka mengenai siswa-siswanya, gue bisa sangat relate
dengan opini-opini yang mereka yang kurang setuju bahwa UN dihapus serta dapat
merasakan kekhawatiran teman-teman guru-guru terhadap proses belajar
siswa-siswanya. Gue menjelaskan bahwa gue menyambut baik ide tersebut untuk
membentuk karakter dan mindset siswa terhadap ilmu pengetahuan, sekolah
dan belajar.
“Ya
bener sih, gue juga setuju kalau itu tapi kalau pembentukan karakter harusnya
TK sama SD karena itu momen yang pas untuk membentuk karakter anak. SMP dan SMA
itu reaksi dari karakter yang sudah terbentuk”
Jujur,
gue gak kepikiran tapi setuju bahwa umur-umur TK sampai dengan SD adalah masa
yang baik untuk memperkenalkan baik dan buruk/hitam atau putih. Beberapa
kesempatan hasil baca atau nonton video di youtube, gue juga menyimpulkan hal
yang demikian tentang pembentukan karakter sejak dini. Beberapa thread
yang gue baca di twitter tentang guru TK yang diremehkan jadi pengingat
bahwa hal tersebut juga perlu digaris-bawahi untuk kita perhatikan bersama. UN
memang sudah bukan merupakan syarat kelulusan untuk tingkat SD tapi rasanya
kurikulum pada tingkat SD memang juga masih perlu di-built supaya
membentuk karakter siswa yang haus akan rasa ingin tahu. Sehingga kebijakan
hapus UN di tingkat SMP-SMA akan berjalan dengan baik. well , let’s see!
Gue
pribadi sebagai orang yang bukan merupakan praktisi pendidikan, paham benar
bahwa pendidikan itu menjadi dasar berjalannya sebuah society yang baik.
Sebagai desainer interior, yang berkerja dalam lingkup keruangan dan manusia,
gue menyadari bahwa posisi gue dapat berpengaruh besar untuk menciptakan ruang
kondusif untuk pendidikan. Toh, pendidikan bukan hanya formal dalam sekolah
tetapi dalam hal yang lainnya, termasuk menciptakan ruang-ruang yang bisa
triggered anak-anak untuk belajar dan memunculkan rasa ingin tahu yang banyak.
Comments
Post a Comment