REKAP PERJALANAN
Pikiran melintas tentang pertanyaan "udah berapa kali?", tentang semangat gue yang menggebu-gebu untuk meraih mimpi kuliah magister di luar negeri melalui beasiswa. Jawab gue banyak! Banyak sekali dan entahlah gue masih belum mau menyerah. Kadang gue berpikir apakah harus menyerah sekarang, tetapi gue berdalih bahwa apa yang gue kasih belum seratus persen; essay dan reasoning sepertinya belum mantap. Sempat hilang arah, tetapi gue putuskan kembali bangkit. Jadi, lewat tulisan ini gue mau merekap perjalananya menjadi satu. Melepaskan kekhawatiran sehingga gue berharap langkah selanjutnya akan lebih ringan.
2019 menjadi tahun dimana perjalanan ini dimulai. Sekian lama tidak yakin dengan kemampuan diri karena ini-itu, akhirnya gue beranikan diri dengan alasan minimal mengisi lembar aplikasi NZS (New Zealan Scholarship). Singkat cerita, dalam waktu 3 minggu, gue berhasil menjawab pertanyaan-pertanyaan tentang diri sendiri dan aplikasi ilmu di masa depan, kemudian menyelesaikan proses aplikasi tanpa ekspektasi apapun. Wajar, itu pertama kali, tanpa rencana dan persiapan jelas. Sekali lagi alasan minimal, tetapi justru anehnya lulus-lah gue di tahap seleksi berkas tersebut. Sayangnya, karena gue gak meletakkan rencana yang jelas, dengan tidak mengecek jadwal dan memperhatikan segala detailnya, jadilah gue missed tahap selanjutnya, yang mana waktu itu adalah sebuah tes lanjutan yang linknya dikirim melalui email. Saat itu, gue berbesar hati dan meyakini bahwa hal tersebut adalah kelalaian gue, tapi gue pun gak bisa bohong kalau kekecewaan itu ada. Kesal sama diri sendiri dan juga menyalahkan keadaan karena gak ada manusia yang mengingatkan tentang proses aplikasi tersebut. Saking kesalnya gue berpikir "Gak ada yang support! Kok gak ada orang yang support?", dan seterusnya.
Yasudahlah.
Tahun itu, rencananya ingin melanjutkan proses lainnya, yakni aplikasi AAS (Australia Award Scholarship). Namun, essay yang gue buat tidak cukup memberikan gue rasa percaya diri, dan secara alam bawah sadar, kejadian sebelumnya sepertinya lumayan membekas. Gue mengurungkan niat.
2020, gue berniat re-apply NZS lagi. Karena aplikasi kemarin maju ke tahap berikutnya, jadilah gue berniat copy-paste saja, tetapi kenyataannya tidak semudah itu. Sektor yang di tahun sebelumnya gue pilih, di tahun berikutnya dihapuskan. Sehingga jelasnya gue harus mengubah haluan dan mengcreate kembali lembar aplikasi tersebut menyesuaikan dengan sektor yang diunggulkan, kembali dalam waktu yang singkat. Tantangannya kali ini adalah gue harus menjelaskan plan gue yang mana mungkin bidang studi yang gue mau adalah masih abstrak, saat itu. Yap, saat itu karena setelah sekian lama akhirnya gue bisa mendefinisikan keabstrakan itu. Selama masa pengerjaan, yang mana gue harus menjawab pertanyaan-pertanyaan itu lagi, gue rasa gue gak punya cukup waktu untuk meresearch lebih jauh -- ujungnya gak yakin. Gue berhasil jawab dan menyelesaikan aplikasi, lalu benar saja hasilnya adalah tidak.
Karena tahun sebelumnya gue kehilangan rasa percaya diri untuk menyelesaikan aplikasi AAS, setelahnya gue putuskan untuk mengerjakan essaynya. Sebuah tema yang berbeda menyesuaikan dengan sektor yang diunggulkan, terlebih lagi mungkin belum ada program studi yang menarik hati. Singkat cerita, alasan-alasan yang gue kemukakan masih belum juga menembus dinding tinggi itu, padahal segala daya usaha sudah dilakukan dengan maksimal rasanya. Pastinya semaksimal yang dibisa waktu itu.
Lagi-lagi yasudahlah. move on.
Di tahun yang sama, ada Chevening Scholarship. Sepertinya masih berharap ada keajaiban. Lagi-lagi gue mengerjakan essay dengan pendekatan tema yang berbeda. Tentang perbedaanya, singkatnya adalah seperti ini: (1) essaynya sangat mewakili apa yang gue suka, masih tentang desain, (2) sedikit mirip, tentang desain dengan hal yang berbeda, (3) hal yang gue suka, tapi dikombinasikan dengan isu global: sustainability, (4) ... dst. Sebenernya gue patut bersyukur karena gue belajar dari setiap tulisan yang gue buat dan merasakan perubahannya setiap gue looking through the past, tetapi, ya, memang hasil yang kutunggu-tunggu karena ternyata jawabannya lagi-lagi tidak.
Tidak apa-apa.
Karena di tahun berikutnya, 2021, gue lebih ready untuk aplikasi NZS lagi. Haha, masih penasaran! sehingga gue pun niat untuk mempersiapkan essay dengan ikut mentoring. Gue mulai tau celahnya untuk menggabungkan essay-essay yang selama ini gue buat. Kemudian gue banyak melakukan diskusi dengan sang mentor, yang mana gue sangat bersyukur beliau kasih feedback yang amat luar biasa untuk ini. Supportnya luar biasa! Honestly, I am nothing without you kak! Hehe. Salah satu hal yang masih gue ingat adalah beliau bilang "idemu ini unik, gak biasa, semoga bisa menarik hati panelisnya ya, pasti bisa kok!". Aamiin. Namun, sayangnya NZS tidak dibuka pada tahun itu, bahkan hingga sekarang, mungkin pandemi menjadi alasan terbesar. Sedih? Iya, namun sekaligus bersyukur karena selesai essay tersebut dan menurut gue cukup meyakinkan.
Lanjut. Haha, masih lanjut nih.
Akhirnya, gue putuskan tahun tersebut gue daftar LPDP. Sebuah beasiswa yang gue merasa gak worthy untuk mendaftar. Alasannya adalah kita dengan mudah bisa melihat siapa saja yang menjadi awardee dan gue merasa gue gak bisa menandingi mereka-mereka yang rasanya lebih berprestasi. Pada akhirnya, gue mencoba karena kalau gak dicoba kita gak akan pernah tau, sekaligus gue menaruh ekspektasi bahwa "kali aja beruntung, sekali daftar langsung lolos. Mungkin rejekinya!", dan perjalanan yang 'sesungguhnya' dimulai. Perjalanan panjang yang mana gue pun harus mengambil tes IELTS, salah satu momok dalam perjalanan beasiswa ini, karena harga tesnya yang mahal. Hasil tes bahasa ini adalah harus, dimana yang sebelumnya gue masih bisa excuse atau diperbolehkan untuk tidak melampirkan hasil tes. Gue pun mengambil tes, mempersiapkan sebaik-baiknya, sehingga pada akhirnya skor yang ingin didapatkan pun berhasil didapatkan. Alhamdulillah.
Melanjutkan perjalanan pengisian aplikasi, kali ini rasanya segala rencana dan alasan itu semakin membulat, semakin jelas. Sehingga gue bisa memproyeksikan apa yang sudah gue alami, apa yang ada dikepala, serta rencana-rencana masa depan. Sejauh ini gue merasa gue telah sampai di titik "Ah ini! Akhirnya ketemu juga formulasinya". Melanjutkan perjalanan yang masih panjang dengan lulus tahap administrasi tetapi langkah ternyata harus terhenti di tahap tes potensi akademik. Gue .... hilang.
Ada masa dimana gue merasa gak layak, gak berguna, dan gak tau lagi mau ngapain. Ya, memang benar hidup sebagai seorang wanita terutama di Indonesia itu gak mudah. Tuntutan tentang jalan 'ideal' yang harus ditempuh itu nyata. Pandangan orang terhadap wanita berpedidikan itu sepertinya lebih rendah dengan wanita yang sudah menikah dan memiliki keluarga yang terlihat bahagia. Disadari atau tidak gue punya tekanan itu, dan segala daya usaha yang gue lakukan untuk membuktikan bahwa jalan ini layak diambil, ternyata masih belum mampu mematahkan itu semua. Pun, gue merasa yang katanya jalan 'ideal' itu juga semu buat gue. Gue bertanya-tanya kemanakah gue harus berjalan. Rapuh. Gue merasa glorifikasi terhadap orang-orang yang akan dan sudah menikah terlalu besar, hingga getar hati ini, menyalakan nasib yang rasanya tidak sempurna dibandingkan orang lain. Gue pikir dengan meraih pendidikan yang lebih tinggi akan membuka pintu yang lebih besar, termasuk networking, tapi nyatanya sulit untuk membuka pintu itu.
Pada akhirnya, gue berhasil meyakinkan diri gue bahwa apa yang sudah gue lakukan adalah progress. Toh, gue tau bahwa tulisan essay yang gue buat sekarang adalah versi yang jauh, jauh, jauh, dan jauh lebih baik dari tulisan pertama gue. I really need a big support too, dan gestur-gestur kecil yang gue dapatkan harusnya dapat menjadi dukungan yang besar buat gue. It is a matter of perspective, tho.
Akhir rekap kali ini, gue melanjutkan perjalanan tersebut dengan rencana hidup dan karir semakin jelas pathnya. Serta, gue berusaha melepaskan segalanya karena telah nampak jalan setapak lain yang ingin dan akan gue coba. Soal menikah, yang jelas gue berharap tidak akan menghabiskan sisa hidup gue sendiri. Walaupun stigma sekitar masih nampak buat gue, atau entah hanya ada di pikiran gue, tetapi hanya diri ini yang bisa mengontrol pandangan-pandangan tersebut, untuk tidak mempengaruhi diri gue seutuhnya. Gue yang punya timeline hidup gue, gue yang mengalami dengan tidak membandingkannya dengan timeline hidup orang lain. Dan apa yang gue percaya adalah benar!
Jadi, doain aja kali ini gue menemukan jalannya, membuka pintunya ...
Doa yang sama untuk yang lagi memperjuangkan jalan demi jalan dalam hidup yang banyak tidak sesuai harap, semampunya dan sebisanya, dengerin kata hati. Karena yang paling tau diri kita yang kita sendiri, jadi jangan dengerin kata-kata orang ya.
good job aisyi 🎉 never give up 💪🏻
ReplyDeletenidaaa! hugsss! semangat juga yaa
DeleteAisyiii, kupercaya akan berhasil syi. Semangat yaa, peluk jauh. Btw tiap lewat akses ui aku sering inget dirimuuu, rumahmu belah mana sih? hehehe
ReplyDeletefitriiii!! Thankyou,aaamiiin .. aaamiiiin .. aahah dimana yaa, gak jauh deh pokoknya dari situ. hehe .. udah lama banget gak ketemuuu
Deleteiya lama bgt, semoga kapan2 bisa silaturahiiim. masih ngekos di bandung syiii?
Deleteaaaamiiiin .. masih nih fit hehe
Delete